POSTINGAN 19
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh...sesuai janji saya saya akan memberikan postingan selanjutnya.
Mungkin karena pikiranya juga tidak menentu, Ayah juga tidak banyak bicara tentang tujuan perjalanan kami. Dia lebih banyak membicarakan kehebatan sepupunya yang tamatan STM, merantau ke Jakarta no bhdan sukses mempunyai kios reklame di Aldiron, Blok M dengan nama Takana Jo Kampuang. Kangen kampung. Atau tentang teman masa kecil yang kemudian lunya armada empat angkot di Bekasi, dengan tulisan besar di kaca belakang Cinto Badarai.
Perjalanan di malam kedua semakin berat. Bus kami sampai di bagian jalan lalu lintas Sumatera yang menular, memilin perut dan membuat mata nanar. Sudah 3 butir pil antimo aku tenggak dan kulit limau manis aku jajalkan di depan hidung. Tapi perutku terus bergolak panas. Air liur terasa encer kecut dan otot rahang mengejang. Kritis. Aku berdiri didepan dam raksasa yang siap runtuh. Plastik asoi, begitu orang minang menyebut tas kresek, aku buka lebar lebar untuk menampung isi perutku yang bertekad keluar. Hanya tinggal menunggu waktu saja....
BLAAR! Bus tiba tiba bergetar dan oleng. Semua penumpang berteriak kaget. Amukan diperutku tiba tiba surut, pudur seperti lilin dihembus angin. Pak Etek muncak dan kenek bersamaan berseru,''Alah kanai lo baliak. Kita kena lagi!''. Roda belakang pecah. Di tengah rimba gulita, hanya di temani senter dan nyanyian jangkrik hutan, kenek dan supir bahu membahu mengganti ban. Aku was was. Bukan lalu ada berita besar di haluan tentang bus yang dirampok oleh bajing loncat, komplotan begundal yang menghadang bus dan truk di tempat sepi. Mereka tidak segan membunuh demi mendapatkan rampokan.
Mungkin karena pikiranya juga tidak menentu, Ayah juga tidak banyak bicara tentang tujuan perjalanan kami. Dia lebih banyak membicarakan kehebatan sepupunya yang tamatan STM, merantau ke Jakarta no bhdan sukses mempunyai kios reklame di Aldiron, Blok M dengan nama Takana Jo Kampuang. Kangen kampung. Atau tentang teman masa kecil yang kemudian lunya armada empat angkot di Bekasi, dengan tulisan besar di kaca belakang Cinto Badarai.
Perjalanan di malam kedua semakin berat. Bus kami sampai di bagian jalan lalu lintas Sumatera yang menular, memilin perut dan membuat mata nanar. Sudah 3 butir pil antimo aku tenggak dan kulit limau manis aku jajalkan di depan hidung. Tapi perutku terus bergolak panas. Air liur terasa encer kecut dan otot rahang mengejang. Kritis. Aku berdiri didepan dam raksasa yang siap runtuh. Plastik asoi, begitu orang minang menyebut tas kresek, aku buka lebar lebar untuk menampung isi perutku yang bertekad keluar. Hanya tinggal menunggu waktu saja....
BLAAR! Bus tiba tiba bergetar dan oleng. Semua penumpang berteriak kaget. Amukan diperutku tiba tiba surut, pudur seperti lilin dihembus angin. Pak Etek muncak dan kenek bersamaan berseru,''Alah kanai lo baliak. Kita kena lagi!''. Roda belakang pecah. Di tengah rimba gulita, hanya di temani senter dan nyanyian jangkrik hutan, kenek dan supir bahu membahu mengganti ban. Aku was was. Bukan lalu ada berita besar di haluan tentang bus yang dirampok oleh bajing loncat, komplotan begundal yang menghadang bus dan truk di tempat sepi. Mereka tidak segan membunuh demi mendapatkan rampokan.
Komentar
Posting Komentar