POSTINGAN 12
Assalamualaikum Wartahmatullahi Wabarakatuh. Sesuai janji saya saya akan memberikan postingan selanjutnya.
...''Amak kalau memang harus sekolah agama, ambo ingin masuk pondok saja di Jawa. Tidak mau di Bukittinggi atau Padang, ''katakku di mulut pintu. Suara cempreng pubertasku memecah keheningan Minggu pagi itu.
Amak yang sedang menyiram pot bunga suplir di ruang tamu ternganga kaget. Ceret airnya miring dan menyerakkan air di lantai kayu. Ayah yang biasa hanya melirik sekilas dari balik koran Haluan, kali ini menurunkan koran dan melipatnya cepat cepat. Dia mengangkat telunjuk keatas tanpa suara, menyuruhku menunggu. Mereka berdua duduk berbisik bisik sambil ekir mata mereka melihatku yang masih mematung di depan pintu kama. Hanya sas-ses-sis-sus yang bisa kudengar.
''Sudah waang pikir masak masak? ''tanya ayahku dengan mata gurunya yang menyelidik. Ayahku jarang berbicara, tapi sekali berbicara adalah sabda dan perintah.
''Sudah yah,''suara aku coba tegas tegaskan
''Pikirkanlah lagi baik baik,''kata amak dengan tidak berkedip
''Sudah Mak,''katanya mengulang jawaban yang sama.
Ayah dan amak mengangguk dan mereka kembali berdiskusi dengan suara rendah. Setelah beberapa saat, Ayah akhirnya angkat bicara.
''kalau itu memang maumu, kami lepas waang dengan berat hati.''
Badanya gembira, tapi ada rasa nyeri yang aneh bersekutu di dadakku mendengar persetujuan mereka. Ini jelas bukan pilihan utamakku. Bahkan sesungguhnya aku sendiri belum yakin betul dengan keputusan ini. Ini keputusan setengah hati.
...''Amak kalau memang harus sekolah agama, ambo ingin masuk pondok saja di Jawa. Tidak mau di Bukittinggi atau Padang, ''katakku di mulut pintu. Suara cempreng pubertasku memecah keheningan Minggu pagi itu.
Amak yang sedang menyiram pot bunga suplir di ruang tamu ternganga kaget. Ceret airnya miring dan menyerakkan air di lantai kayu. Ayah yang biasa hanya melirik sekilas dari balik koran Haluan, kali ini menurunkan koran dan melipatnya cepat cepat. Dia mengangkat telunjuk keatas tanpa suara, menyuruhku menunggu. Mereka berdua duduk berbisik bisik sambil ekir mata mereka melihatku yang masih mematung di depan pintu kama. Hanya sas-ses-sis-sus yang bisa kudengar.
''Sudah waang pikir masak masak? ''tanya ayahku dengan mata gurunya yang menyelidik. Ayahku jarang berbicara, tapi sekali berbicara adalah sabda dan perintah.
''Sudah yah,''suara aku coba tegas tegaskan
''Pikirkanlah lagi baik baik,''kata amak dengan tidak berkedip
''Sudah Mak,''katanya mengulang jawaban yang sama.
Ayah dan amak mengangguk dan mereka kembali berdiskusi dengan suara rendah. Setelah beberapa saat, Ayah akhirnya angkat bicara.
''kalau itu memang maumu, kami lepas waang dengan berat hati.''
Badanya gembira, tapi ada rasa nyeri yang aneh bersekutu di dadakku mendengar persetujuan mereka. Ini jelas bukan pilihan utamakku. Bahkan sesungguhnya aku sendiri belum yakin betul dengan keputusan ini. Ini keputusan setengah hati.
Komentar
Posting Komentar